Minggu, 04 Juni 2017

AGAMA DAN GENDER



Islam merupakan agama mayoritas masyarakat dunia, yang dalam pengamalannya bersentuhan langsung dengan fakultas rasional tentang hak-hak kemanusiaan dalam berbagai kepentingan. Sejarah menggambarkan bagaimana penafsiran terhadap agama menjadi komoditas kalangan tertentu tanpa memikirkan akibatnya bagi masyarakat perempuan dan generasinya. Islam yang begitu dimuliakan kemudian dipandang sebagai agama yang meremehkanperempuan. Tentu saja bukan Islam yang salah, tetapi penafsiran terhadap teks Alquran dan matan hadislah yang belum tepat, seiring dengan itu, merupakan tuntutan bahwa umat Islam harusmengamalkan ajaran Islam mereka sesuai kemampuan penafsiran terhadap ajaran Islam yang ada, terlepas dari persoalan kepentingan politik umat dan kepentingan lain dalam sejarahnya.
Pada masa awal kemunculan Islam, memang pernyempurnaan pemahaman belumlah prioritas, karena dakwah Islam yang selalu mendapat tantangan dan perlawanan dari masyarakat non Islam.Setelah ada kelonggaran ruang untuk pengamalannya kemudianpenasiran terreduksi oleh berbagai kepentingan, termasukkepentingan politik yang bias gender dan selalu berorientasi padakelaki-laki-an (male oriented)1.
Hal ini dapat dilahat pada instensnyaperdebatan tentang lekatan patriarkis yang terdapat pada institusi agama. Kenyataan ini pulalah yang membuat sementara pejuang gerakan perempuan (baik laki-laki maupun perempuan) tidak kritis kepada institusi sosial agama. Penafsiran agama yang male oriented membentuk pemahaman danmemberi pengaruh terhadap masalah ketimpangan gender, bahkanhampir semua agama seakan-akan melegitimasi bangunan budaya dan institusi-institusi Islam. Misalnya; ada dalil-dalil yang cukup ampuh memberikan indikasi posisi dan peran laki-laki daripada perempuan yang bias gender.
Salah satu hadis yang biasa digunakan adalah al-mar’atu ra’iyatu fi baiti zaujiha wa waladiha (Perempuan adalah pemimpin dalam rumah suami dan anak-anaknya). Berdasarkan hadis ini, maka perempuan “hanya” berperan dalam urusan domestik bukan diluar rumah. Jadi bangunan budaya dan pemahaman agama seperti ini berpengaruh kuat terhadap terjadinya ketimpangan gender. Keluarga adalah lembaga yang paling berperan dan mempertahankan dan mengaplikasikan hasil bangunan budaya dan pemahaman agama tersebut sehingga benar-benar mengkristal.
Persoalan gender oleh sebagian pandangan umat Islam diasosiasikan sebagai the nature yang tak bisa diubah karena sifatnya yang taken for granted , namun oleh sebagian lainnya justru diasumsikan sebagai the nuture yang dibentuk dan dikondisikan oleh sistem nilai dan budaya yang berlaku di masyarakat sehingga bersifat changeable dariwaktu ke waktu dan dari masyarakat ke masyarakat. Dengan demikian tafsir genderpun dalam pemikiran Islam terderivasi menjadi beberapa pandangan.
Sumber :
Ahmad, Kamaruzzaman Bustamam, Islam Historis, Cet. I; Yogyakarta:
Galanga Press, 2002
Musawa.vol 1 nomor 2 desember 2009;173-190 artikel


Tidak ada komentar:

Posting Komentar