Islam merupakan agama mayoritas
masyarakat dunia, yang dalam
pengamalannya bersentuhan langsung dengan fakultas rasional tentang hak-hak kemanusiaan dalam
berbagai kepentingan. Sejarah menggambarkan
bagaimana penafsiran terhadap agama menjadi komoditas kalangan tertentu tanpa
memikirkan akibatnya bagi masyarakat
perempuan dan generasinya. Islam yang begitu dimuliakan kemudian dipandang sebagai
agama yang meremehkanperempuan. Tentu saja bukan Islam yang salah, tetapi
penafsiran terhadap teks
Alquran dan matan hadislah yang belum tepat, seiring dengan itu, merupakan tuntutan bahwa
umat Islam harusmengamalkan ajaran Islam mereka sesuai kemampuan penafsiran terhadap ajaran Islam yang ada, terlepas
dari persoalan kepentingan politik
umat dan kepentingan lain dalam sejarahnya.
Pada masa awal kemunculan Islam,
memang pernyempurnaan pemahaman
belumlah prioritas, karena dakwah Islam yang selalu mendapat tantangan dan perlawanan dari
masyarakat non Islam.Setelah ada kelonggaran ruang untuk pengamalannya
kemudianpenasiran terreduksi oleh berbagai kepentingan, termasukkepentingan
politik yang bias gender dan selalu berorientasi padakelaki-laki-an (male oriented)1.
Hal ini dapat dilahat pada
instensnyaperdebatan tentang lekatan patriarkis yang terdapat pada institusi agama. Kenyataan ini pulalah yang
membuat sementara pejuang gerakan
perempuan (baik laki-laki maupun perempuan) tidak kritis kepada
institusi sosial agama. Penafsiran
agama yang male
oriented membentuk
pemahaman danmemberi pengaruh terhadap masalah ketimpangan gender, bahkanhampir
semua agama seakan-akan melegitimasi bangunan budaya dan institusi-institusi Islam. Misalnya; ada
dalil-dalil yang cukup ampuh memberikan
indikasi posisi dan peran laki-laki daripada perempuan
yang bias gender.
Salah satu hadis yang biasa
digunakan adalah al-mar’atu
ra’iyatu fi baiti zaujiha wa
waladiha (Perempuan adalah pemimpin
dalam rumah suami dan anak-anaknya). Berdasarkan hadis ini, maka perempuan
“hanya” berperan dalam urusan domestik bukan diluar rumah. Jadi bangunan budaya
dan pemahaman agama seperti ini berpengaruh kuat terhadap terjadinya ketimpangan
gender. Keluarga adalah lembaga yang paling berperan dan mempertahankan dan
mengaplikasikan hasil bangunan budaya dan pemahaman agama tersebut sehingga
benar-benar mengkristal.
Persoalan
gender oleh sebagian pandangan umat Islam diasosiasikan sebagai
the nature yang tak bisa diubah karena sifatnya yang taken for
granted , namun oleh sebagian lainnya justru
diasumsikan sebagai the nuture yang dibentuk dan dikondisikan oleh
sistem nilai dan budaya yang berlaku di masyarakat sehingga bersifat changeable
dariwaktu ke waktu dan dari masyarakat ke masyarakat. Dengan demikian
tafsir genderpun dalam pemikiran Islam terderivasi menjadi beberapa pandangan.
Sumber :
Ahmad, Kamaruzzaman Bustamam, Islam Historis, Cet. I;
Yogyakarta:
Galanga Press, 2002
Galanga Press, 2002
Musawa.vol 1 nomor 2 desember 2009;173-190
artikel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar