Kamis, 13 Juli 2017

Usaha Memisahkan Ideologi Kebangsaan dan Keagamaan



Pancasila tidak dapat diasumsikan melalui ayat-ayat Al-Qur'an, pancasila merupakan ekstraksi yang oleh Founding Father diambil dari nilai-nilai luhur budaya bangsa. Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Ada yang menarik dari pancasila, yakni Bung Hatta dalam suatu kisah (beberapa versi) diceritakan bahwa bung Hatta telah berkonsultasi kepada KH. Wachid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo untuk menghapus tujuh kata yakni, "Dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya".
Dengan dihapuskannya tujuh kata tersebut, diharapkan bahwa usaha atau proses perjuangan bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari penjajah tidak hanya di dominasi oleh kaum muslim saja. Hal tersebut sangat rasional mengingat Indonesia tidak hanya didiami oleh umat muslim saja, kalau tidak dihapus akan ada kecemburuan sosial berisikan SARA.
Sayangnya, saat ini, beberapa orang malah mencaci maki pancasila, karena sebagaimana islam kita harus berpedoman pada kitab suci bukan kepada pancasila. Alih-alih yang muncul adalah pancasila sudah sesuai dengan syariat islam, pancasila adalah islam dan islam adalah pancasila, padahal tidak begitu. kecenderungan ini yang membuat Nurcholish Majid mengatakan adanya distorsi (penyimpangan). Seharusnya, pancasila, ya pancasila dalam kehidupan berbangsa dan Islam, ya islam dalam kehidupan beragama, saling melengkapi namun tidak bercampur satu sama lain, jadi tidak dapat dikatakan Pancasila adalah Islam dan Islam ada Pancasila.
Gejolak yang ada di Indonesia kini tidak lain adalah bentuk kebebasan ajaran agama, bukan karena bentuk pengekangan seperti pada abad ke-15 atau 16 M. Tidak ada pengekangan dalam beragama dari Pemerintah RI, melainkan ungkapan kebebasan berlebihan beberapa orang yang tergabung dalam kelompok Islam bahwa mereka menginginkan sistem bernegara dalam bentuk Daulah Islamiyah/ Khilafah. Hanya saja, nabi Muhammad SAW tidak mengajarkan kepada kita bentuk negara islam, beliau hanya mengajarkan mengenai kepemimpinan, kita harus mengakui hal itu.
Tariq Ramadhan, mengkutip dari bukunya Teologi Dialog Islam-Barat (2002: 46), menulis sebuah sabda dari Nabi Muhammad SAW ke kaum Anshar perihal masalah pencangkokan pohon kurma. "Saya adalah seorang manusia. Jadi, ketika aku menyuruhmu melakukan hal tertentu berkenaan dengan agama, terimalah; tetapi ketika aku menyatakan pendapat pribadiku tentang sesuatu, ingatlah bahwa aku adalah seorang manusia. Kalian mengetahui lebih baik tentang urusan dunia ini (HR : Bukhari dan Muslim).
Dengan ini, tidak ada landasan dalam pembentukan atau sistem khilafah islamiyah yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW. Abdurrahman Wahid juga mengatakan, sia-sia saja. Berkaitan dengan sistem Khilafah atau Daulah Islamiyah, kita sendirilah yang menentukan itu, di Indonesia sejarah perubahan sistem pemerintahan telah banyak berganti-ganti. Pada masa pra-sejarah, contohnya, ada suatu istilah yakni primus inter pares, yakni penunjukkan laki-laki dalam sebuah kelompok untuk memimpin. Dimana, nantinya PIP akan dirubah oleh ajaran agama hindu yang masuk ke Indonesia menjadi sistem keturunan, jadi anak raja yang pertamalah yang memimpin kelompok (kerajaan), begitu seterusnya hingga sampai pada hari ini bentuk sistem pemerintahannya ialah menggunakan majority rule dalam sistem demokrasi.
Jika bersikukuh untuk mendirikan Daulah Islamiyah dan mengganti Pancasila, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam bukunya Islamku, Islam Anda dan Islam Kita (2006) menjelaskan suatu adagium yang dikenal islam. Adagium itu berbunyi "(La islama Illa bi Jama'ah wala Jama'ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa bi Tha'ah)", yang artinya Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan". Adagium tersebut, dari tulisan Gus Dur, berasal dari Khalifah Umar bin Khattab, dimana khalifah Umar tidak bermaksud untuk menjadikan ini sebagai wacana politik, akan tetapi lebih pada jaring pengaman sosial.
Kita masih ingat kejadian pemeberontakan DI/TII yang dilakukan oleh alm. S. M Kartosuwiryo pada tahun 1948, aktivitas tersebut bukanlah bentuk peng-aplikasikan ajaran nabi Muhammad. Kegiatan tersebut menurut pendapat penulis hanyalah sebuah bentuk keegoisannya semata karena ketidaksukaan atau ketidaksetujuan atau malah kebencian terhadap orang-orang yang menghendaki sebuah proses sosial.
Jikalau demikian dapatlah dimengerti bahwa yang terjadi di Indonesia maupun diluar negeri (ISIS dan semacamnya) hanyalah bentuk keegoisan seorang oknum semata. Karena, mereka tidak ingin tunduk dalam sebuah sistem yang sudah dibuat sedemikian rupa.
Kita semua dapat melihat berkaitan dengan sistem pergantian pemimpin kelompok dari ketika Nabi Muhammad SAW wafat. Beberapa kelompok mengadakan musyawarah (demokrasi langsung) dan mereka setuju mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah selanjutnya, begitu seterusnya hingga sampai kepada Khalifah Ustman bin Affan. Sepeninggal Khalifah Ustman, beberapa kelompok bersitegang berkaitan dengan masalah penerus kepemimpinannya, ada semacam ketidakadilan menurut masing-masing pihak yang pada akhirnya terpecahlah aliran islam.
Apabila sistem tersebut diterapkan menjadi sebuah Daulah Islamiyah, maka tercipta suatu tatanan kenegaraan yang kacau dan amburadul. Karena, masing-masing akan mengakomodasi pihaknya masing-masing apabila terjadi pergantian kepemimpinan, cenderung KKN dan cenderung tidak adil pada masyarakat. Keadilan dapat tercipta dalam sebuah sistem demokratis, dimana semua pihak dapat berbicara dan menyumbangkan pendapat. Hal ini merupakan pembelajaran bahwa proses atau sistem bernegara bukanlah proses agama melainkan politik bernegara, kita harus berhati-hati dan belajar dari masa lalu.
Dengan menganalisis dari masa lalu, kerusuhan yang tengah melanda Jakarta dan sekitarnya identik dengan agama. Kenyataan kemenangan ISIS dan Marawi mempengaruhi beberapa orang di Indonesia, terutama Jakarta untuk melakukan gerakan serupa, mencampurkan agama secara murni dalam proses politik yang cenderung sekular. Jelas, ini merupakan suatu bentuk konflik yang berisikan kepentingan golongan tertentu, bukan serta merta urusan sepele seperti konflik pribadi. Jika merujuk pada sejarah, seperti ada orang-orang atau kelompok yang mewarisi dendam masa lalu berkaitan dengan masalah penerapan ideologi di Indonesia, Agama ataukah Pancasila.
Usaha untuk membedakan Kebangsaan dan Agama haruslah disegerakan, karena kerusuhan ini bersifat continue (berkelanjutan). Sikap tegas pemerintah ditunggu dalam menyelesaikan ini dengan cara yang berbentuk apapun, secara tegas dan keras maupun dengan kelembutan. Pemerintah juga harus tegas dalam menjelaskan perbedaan ajaran kebangsaan dan ajaran agama, jika tidak begitu maka akan muncul lagi ide Amien Rais berkaitan dengan Perang Badar dalam situasi politik beberapa bulan yang lalu. Lucu, bukan?

SARJANA KOK CUMA JADI IBU RUMAH TANGGA ?



Ketika banyak orang yang bertanya, “ Apa nggak sayang kuliah setinggi itu tapi pada akhirnya hanya jadi ibu rumaah tangga?” seorang muslim sejati tak akan nggakn untuk menjawab, “I’m a full time mom and wife at home, and I Love it.”
Hingga kini masih banyak yang bilang menunda-nunda nikah dengan alsan, nikah jadi penghambat mimpi para wanita. Sehingga tidak jarang muncul komentar “ Siapa suruh nikah dulu, jadi nggak bisa kerja, nggak bisa ngelanjutin kuliah, Cuma jadi ibu rumah tangga padahal sudah sarjana. Apakah salah perempuan dengan pendidikan yang tinggi pada akhirnya memilih fulltime jadi ibu rumag tangga? .
Menurut saya tidak, yang membuatnya merasa tebu adalah konsep pendidikan formal yang selama ini belum diresapi dengan bijak. Pendidikan tinggi identik dengan karir yang elit. Padahal kuliah adlah saah satu cara menuntut ilmu guna menunjang tugas-tugas besar di masa depan. Bukan sekedar demi profesi, tapi menjadi ibu yang mengnspirasi tidak hany mencetak prestasi tapi juga mencetak hebatnya generasi. Menjadi ibu adlah tugas yang tak isa diemehkan. Itulah kenapa Islam sangat memposisikan ibu sedemikain tinggi.
Ada cerita, soal laki-laki dengan tulus menggendong ibunya yang lumpuh, Ia memandikan, menyuapai makan, mensucikan dari hadas, ia ikhlas melakukan itu semua demi bukti seorang anak kepada ibunya. entah apa yang membuat pemuda itu bertanya kepada Umar bin Khattab dengan pertanyaan seperti ini “ Apakah pengabdianku sudah cukup untuk membals budi ibuku? jawaban Umar sangat mengejutkan, “Tidak, tidak cukup!. Karena kau melakukan itu sembari menunggu kematiannya.Sementara ibumu merawatmu sendiri mengharap kehidupanmu. Ayah dan Bunda, dua manusia yang sangat dimuliakan oleh Allah. Bahkan tak jarang bakti kepada kedua orang tua ditempatkan usai perintah ibadah kepada Allah.
Ibu merupakan manusia keramat yang sangat dimuliakn-Nya. Bud dan kasihnya tak akan pernah terbalas. Doa seorang iby adalah kalimat saakti bagi anak-anaknya. Ya benar, doaa orang tua tak boleh terbai. Tatkala kau mencium tangan ibu lantas kau ucakan permintaan, “ Bu doakan aku agar segera meraih hajatku”. Lalu ibumu mengels kepalaamu sambil mengucapkan doa “iya nak, ibu doakan semoga hjat baikmu segera terwujud”. yakinlah malaikat-malaikat akan berbondong mempersipkan diri, semesta pun mempersiapkan diri.



HARTA TERBAIK BAGI SEORANG LAKI-LAKI ADALAH MEMILIKI ISTRI YANG SHOLIHAH




Harta terbaik bagi seoarng laki-lki adlah memeiliki Istri yang sholihah, menyejukkn hati, menentramkan jiwa, dan selalu mengigat kepada Allah swt.
Banyak diantara wanita berlomba-lomba bersolek diri untuk tampil di depan lelaki. Mencoba berbagai mode pakaian dan memoles wajah dengan berbagai cara. Tapi sayang, kebanyakan diantara mereka lupa untuk memantaskan diri. Melayakkan diri menjadi seorang wanita yang sholihah. bagi lelaki manapun, kecantikan memang menyenangkan.Tapi belum tentu membahgiakan. Namun wanita sholihah, akan selalu membahagiakan dan menyenangkan. Karena ia menyejukkan hati, menentramkan jiwa, dan selalu mengigat kepada Allah swt.
Seperti apapun fisiknya, ia akan mampu membuat suaminya berkata “ engkaulah bidadari yang telah dikaruniakan untukku”. Maka wahai para lelaki, milikilah wanita seperti ini agar hidupmu bahagia. dan engkau duhai wanita, semoga engkaulah wanita sholihah itu. Semoga

Selasa, 11 Juli 2017

Jangan Jadi Mahasiswa "Kupu-kupu"



Menjadi mahasiswa yang aktif dalam kegiatan kampus dan beroganisasi sangat menunjang karir di masa mendatang. Sebab, berorganisasi akan mengasah softskill yang ada dalam diri masing-masing. Sayangnya, tak banyak mahasiswa yang mau untuk menjadi mahasiswa yang aktif dalam mengembangkan softskil.Sebaliknya, malah asyik menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang).
Wakil BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Perikanan dan Kelauatan Unair, Faris Kukuh Harwinda, mengungkapkan, aktif beroganisasi di masa-masa kuliah mempunyai banyak manfaat. "Dengan berorganisasi kita belajar memecahkan ragam masalah. Tidak hanya berkutat soal akademik bangku kelas kuliah," kata dia. "Selain itu, berorganisasi juga membuka peluang kita untuk bisa berkenalan dengan orang-orang hebat," imbuh staf LPM Mercusuar UNAIR tersebut.
Ada beberapa hal yang juga harus diperhatikan. Antara lain, soal niat. Ya, niatkan semua yang kita lakukan adalah untuk Tuhan, Bangsa dan Almamater. Selalu resapi motivasi ini ketika akan berkegiatan.
Di samping itu, biasakanlah untuk tidak sering pulang ke rumah atau kost. Berkegiatan yang positif di kampus akan lebih membentuk diri menjadi seseorang yang berkarakter. Kalau rasa malas mulai menghantui, ingatlah orang tua yang sudah membiayai kehidupan sejak kecil. "Bila semua dilakukan berdasarkan passion, pasti akan lebih enjoy," tambahnya.
Jadilah mahasiswa yang cerdas baik di sisi akedemik maupun non akademik. Di luar sana, ada banyak yang memiliki nilai akademik baik. Maka, jadilah berbeda dengan kapabilitas poin non akademik. salah satunya, dengan berorganisasi.